budaya adat bajawa (FLORES)

Etnis Bajawa atau Bhajawa adalah satu dari dua etnis yang mendiami Kabupaten Ngada di Pulau Flores bagian tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Etnis lainnya adalah Riung. Kedua etnis ini memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Adat istiadat, kebiasaan dan bahasa sangat berlainan.
Dalam kalangan masyarakat etnis Bhajawa hingga kini masih hidup sejumlah upacara tradisional yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggal.

1. Upacara Yang Berkaitan Dengan Kelahiran

Bagi masyarakat Bajawa tujuan perkawinan adalah melahirkan anak-anak. Ini diungkapkan dengan bahasa adat (Pata Dela) ’Bo moe tewu taba, loka moe muku wuka’ (bertunas bagaikan tanaman tebu, menghasilkan buah bagaikan tanaman pisang).
Kelahiran dalam pandangan masyarakat Bajawa harus diawali dengan perkawinan adat yang melegalkan sanggama antara pria dan wanita, dalam bahasa adat disebut ’beke sese papa pe, pa’a bhara papa dhaga’ (dada saling bertemu, paha saling

Upacara-Upacara Tradisional Etnis Bajawa

Etnis Bajawa atau Bhajawa adalah satu dari dua etnis yang mendiami Kabupaten Ngada di Pulau Flores bagian tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Etnis lainnya adalah Riung. Kedua etnis ini memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Adat istiadat, kebiasaan dan bahasa sangat berlainan.
Dalam kalangan masyarakat etnis Bhajawa hingga kini masih hidup sejumlah upacara tradisional yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggal.

1. Upacara Yang Berkaitan Dengan Kelahiran

Bagi masyarakat Bajawa tujuan perkawinan adalah melahirkan anak-anak. Ini diungkapkan dengan bahasa adat (Pata Dela) ’Bo moe tewu taba, loka moe muku wuka’ (bertunas bagaikan tanaman tebu, menghasilkan buah bagaikan tanaman pisang).
Kelahiran dalam pandangan masyarakat Bajawa harus diawali dengan perkawinan adat yang melegalkan sanggama antara pria dan wanita, dalam bahasa adat disebut ’beke sese papa pe, pa’a bhara papa dhaga’ (dada saling bertemu, paha saling bersentuhan).
Setiap perempuan yang hamil (ne’e weki) harus ada suami atau ada laki-laki yang menghamili. Dalam bahasa adat dilukiskan dengan ungkapan ’Wae benu toke, uta benu bere, ne’e go mori’ (air penuh bambu sayur penuh keranjang pasti ada yang memasukkan) atau ’Sa a, keka ea, nee go mori (burung gagak bersuara, burung kakatua berkicau, pasti ada penyebabnya).
Kelahiran anak, entah laki-laki atau perempuan, bagi masyarakat Ngada adalah berkah dari leluhur. Karena itu kelahiran anak selalu disyukuri dengan upacara adat:
a.’Geka Naja’. Upacara dilakukan sesaat setelah anak lahir yakni memotong tali pusar (poro puse) dan memberi nama (tame ngaza).
b. Tere Azi. Masyarakat Bajawa memandang ari-ari sebagai kembaran si bayi sehingga harus diperlakukan secara baik. Ari-ari tidak dikuburkan tetapi diletakkan pada suatu tempat yang tinggi ( di atas pohon). Upacara ini disebut Tere Azi.
b.Lawi Azi, Lawi Ana atau Ta’u.Upacara bertujuan untuk mengesahkan kehadiran anakdalam keluarga besar dan mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan babi untuk memberi makan kepada leluhur. Biasanya rambut anak dicukur disebut Koi Ulu.

2. Upacara Pradewasa (Remaja)

Bagi masyarakat Bajawa, seseorang dinyatakan mulai dewasa apabila ia sudah mengalami datang bulan (ngodho wula). Sejumlah upacara dilakukan yakni:
a. Lege Mote (konde rambut).Khusus untuk anak perempuan rambut tidak boleh dicukur lagi dan dibiarkan panjang supaya bisa dikonde.
b. Peti Kodo dan Sipo Sapu (memberi pakaian). Peti kodo artinya memberi pakaian kepada anak perempuan sedangkan sipo sapu memberi pakaian pada anak laki-laki. Mereka yang beranjak remaja tidak boleh telanjang lagi.
c. Kiki Ngi’i (potong gigi) bertujuan untuk mendewasakan seorang gadis sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih lanjut.

3. Upacara Dewasa

Bagi masyarakat Bajawa, kedewasaan ditandai dengan perkawinan. Untuk sampai pada jenjang perkawinan, ada beberapa tahap yang dilewati.
a. Beti tei tewe da moni neni. Tahap perkenalan antara pria dan wanita biasanya pada saat pesta adat Reba (pesta syukur).
b. Beku mebhu tana tigi. Pihak laki-laki mengadaptasi diri dengan gadis dan keluarga gadis.
c. Bere tere oka pale: Keluarga pihak laki-laki datang meminang anak gadis.
d. Idi Nio Manu: Keluarga laki-laki beriringan menuju rumah calon besan membawa sejumlah barang.
e. Seza/ Sui tutu maki Rene. Zeza merupakan tahapan puncak dalam mengesahkan pasangan wanita dan laki-laki untuk hidup berdampingan sebagai suami dan istri. Dalam bahasa adat disebut ”lani seli’e, te’e setoko’ (tidur beralaskan satu tikar dan satu bantal).

4. Upacara Kematian

Masyarakat Bajawa memandang kematian sebagai ’Dewa da Enga atau Nitu da Niu’. Dewa adalah kekuatan di atas yang baik (Dewa Zeta) yang memberi kehidupan dan kematian. Nitu adalah kekuatan di bawah yang jahat (Nitu zale) yang bisa mencabut nyawa manusia secara paksa. Karena itu di kalangan masyarakat Bajawa ada dua jenis kematian.
a. Mata Ade: Mati yang wajar karena penyakit medis. Upacara penguburan melalui tahap: Roko (memandikan dan memberi pakaian), Basa Peti (membuat peti mati), koe gemo (menggali kubur), gai boko (melepaspergikan jenasah), pa’i (menghibur keluarga selama tiga malam) dan Ngeku (kenduri) yang ditandai dengan penyembelihan hewan babi, kuda atau kerbau.
b. Mata Golo. Mati yang tidak wajar akibat kecelakaan, bunuh diri atau dibunuh. Upacara penguburan melalui proses: Pai api (menjaga mayat), tau tibo ( upacara mencari penyebab kematian), keo rado (upacara pembersihan), tane (menguburkan mayat) dan e lau kora (membuang seluruh peralatan yang dipakai ke arah matahari terbenam).

5. Upacara Pemulihan
Masyarakat Bajawa mengenal sejumlah upacara pembersihan diri atau pemulihan diri antara lain:
a. Upacara Woko Liko Kada. Upacara pemulihan bagi seorang yang telah membunuh orang dan telah menjalankan hukuman penjara. Ia dinasehati agar ’Sau ma’e Ngada Bhuja ma’e laji’ (parang dan tombak jangan lagi memakan korban). Dalam upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi.
b. Upacara Rubu Rao.Upacara pemulihan nama baik seseorang yang telah dicemari oleh seseorang. Pelaku dinasehati dengan ungkapan adat ’Toke ma’e deke mote ma’e weo’ (jangan mencemari nama orang lain)
c. Upacara Dhoro Ga’e/Nuka Nua.Upacara pemulihan seorang perempuan (rang Ga’e) yang kawin dengan laki-laki rang bawah (bukan ga’e). Umumnya mereka diusir dari kampung dan setelah beberapa tahun mereka kembali ke kampung dengan upacara ’Nuka nua’ (masuk kampung).
d. Upacara Sebhe Bhaku dan Basa Nata Rogho.Upacara pemulihan bagi laki-laki dan perempuan yang berzinah namun keduanya tidak bersedia untuk hidup bersama sebagai suami istri . Untuk jenis kesalahan ini pihak laki-laki dikenakan sangsi adat berupa kerbau atau kuda sesuai dengan peraturan adat yang berlaku.
e. Upacara Kati: Upacara pemulihan bagi seorang pria yang berzinah dengan istri orang (pela). Pihak laki-laki selalu pada posisi ’salah’ meskipun mungkin kenyataannya ia digoda oleh perempuan. Pihak laki-laki wajib membawa sejumlah barang (kati) ke rumah suami dari istri yang dizinahi. Suami dari istri yang berzina jika menerima kati maka terjadi pemulihan perkawinan dan saling memaafkan.
f. Upacara Sewu Ngewu.Sewu Ngewu adalah upacara pemulihan dalam bencana kebakaran kampung. Upacara ini melalui beberapa tahap yakni Zoze Api (memutuskan hubungan dengan kutukan api), Kago Te’e Bola (memasukan barang-barang ke dalam rumah), Pa’i Tibo Taki Api (mencari petunjuk ritual tradisional untuk mengetahui sebab-sebab kebakaran), Sewu Ngewu (menyembelih kerbau).


6. Upacara Bercocok Tanam

Masyarakat Bajawa memandang bertani dan beternak sebagai suatu keharusan dan sumber kehidupan yang pertama dan utama. Ini terungkap dalam bahasa adat: ’Bugu kungu, uri logo’ (jari tangan harus meraba tanah) dan ’uri logo (belakang harus dibakar matahari). ’Tuza mula, wesi peni’ (harus menanam dan beternak). Ucapan syukur atas hasil panen dilakukan dengan pesta adat yang disebut Reba dan rasa gembira dinyatakan dengan tarian ’O Uwi’ (memuja ubi, makanan nenek moyang suku Bajawa).

7. Pandangan tentang Alam Semesta

Masyarakat Bajawa memandang dunia sebagai ’Ota Ola’ tempat manusia hidup bersama yang dilukiskan dengan bahasa adat: ’Lobo papa tozo, tara papa dhaga’ ( saling ada ketergantungan). Dalam dunia ini ada kekuatan baik disebut Dewa Zeta dan ada kekuatan jahat disebut Nitu Zale. Dewa Zeta sebagai kekuatan sumber kemurahan, sumber kebaikan (Mori Ga’e).

8. Upacara Membangun dan Masuk Rumah Adat

Bagi masyarakat Bajawa, rumah adat adalah lambang kekuatan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dilambangkan dengan ’Lasu Wisu’ dan perempuan dilambangkan dengan ’Lia loki’. Pertemuan antara lasu wisu dan lia loki membuat rumah adat menjadi kuat.
Ada tiga jenis rumah adat (Sao Meze) yakni Sao Saka Pu’u (rumah pokok), Sa’o saka lobo (rumah pendamping rumah pokok) dan sejumlah Sao Pibe/Dai (rumah adat lainnya anggota suku).
Proses membuat rumah adat yang harus dilalui adalah:
a. Zepa Kolo : mempersiapkan alat ukur yang terbuat dari bilah-bilah bamboo.
b. Ka Kolo/Basa Mata Taka.Upacara yang dilakukan sebagai awal dari proses pembuatan rumah adat.
c. Gebhe Puu Kaju.Upacara pembasmian tunas-tunas kayu yang kayunya telah diambil untuk material rumah adat baru. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha bahwa pohon yang telah diambil untuk material rumah tumbuh(bertunas) maka akan membawa sial bagi penghuni dan ana sa’o (anggota rumah/suku).
d. Bama Ngaru Kaju.Bahan sa’o yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku/anggota sa’o yang akan dibangun.
e. Weti. Weti adalah proses untuk memahat atau relief atau simbol-simbol tradisional orang Ngadha.
f. Tore ngawu.Membawa semua material sa’o dari tempat persiapan akhir menuju ke dalam kampung.
g. Tere Leke/Tere Pudha.Acara Mate Ngana Basa Leke yaitu pengorbanan hewan korban (babi) dalam rangka menyucikan semua meterial sa’o yang akan dibangun terutama leke sebagai bahan dasar sekaligus pemberian makan kepada leluhur.
h. Mula Lekei : adalah pemasangan tiang sa’o (leke) sebanyak 4 (empat) buah yang terbuat dari kayu hebu dengan bantuan alat ukur yang terbuat dari bambu yang disebut Suru Nuba.
i. Se’a Tenga : Tenga adalah balok besar penghubung antar leke. Se’a tenga leke adalah pemasangan balok besar (tenga) untuk menghubungkan atau mengikat antar leke.
j. Dolu/fedhi wae/dolu wae : menentukan rata atau tidaknya leke yang telah dipasang dengan mericiki air pada pertengahan tenga, bila jatuhnya atau mengalirnya air tegak lurus dari atas ke bawah berarti posisi leke dan tenga yang telah dipasang sudah pas.
k. Soka Leke : Soka leke pada dasarnya adalah sebuah maklumat atau pernyataan dari para pemilik sa’o atau anggota suku kepada khalayak tentang kesanggupan anggota suku serta proses yang telah dilalui sesuai dengan tahapan-tahapan dalam membangun sa’o mereka.
l. Remi Ube/Kobo Ube. Pemasangan ube sa’o secara keseluruhanselain pintu atau pene sa’o dengan urutan sebagai berikut : Ulu-wewa , kemo-pali (belakang-depan, kiri-kanan). Ulu-wewa melambangkan mama atau induk yang melahirkan, sedangkan kemo-pali melambangkan anak yang dilahirkan karena itu sebagai mama harus dipasang terlebih dahulu sebelum anak.
m. Wa’e Sa’o. Memberi atap rumah adat.
n. Tege Sua Sa’o dan Kawa Pere.Tahapan ini adalah proses lanjut yg dilaksanakan setelah pembangunan atap rumah selesai yakni memasukkan symbol-simbol penting yang merupakan lambing dan identitas rumah yakni Sua Sa’o (lambang hak atau yang disebut juga dengan sertifikat tradisional) dan Kawa Pere (lambang kebesaran, kewibawaan sesuai dengan status rumah adat di dalam sebuah suku).
o. Ka Sa’o.Acara puncak sebagai pentabisan rumah adat yang baru sebagai pertanda bahwa rumah adat ini dinyatakan sehat seseuai dengan ketentuan adat untuk dihuni oleh Ana Sa’o. Pada acara ini biasanya dipentaskan tarian jai Laba Go dan diikuti dengan penyembelihan kerbau dan babi.Tahapan ini akan dihadiri oleh semua Ana Woe, Wai Laki, Lobo Tozo tara dhaga kerabat dan hubungan perkawinan.

9. Catatan Akhir

Semua upacara adat ini biasanya ditutup dengan ’perayaan ekaristi kudus’ sebagai puncaknya. Dengan demikian, pelaksanaan upacara adat merupakan pernyataan rasa hormat mereka kepada nenek moyang, leluhur yang pernah hidup dan diyakini tetap hidup (Di’i dongo mogo liko lapu). Nenek moyang dipandang sebagai sarana atau jembatan menuju Dewa Zeta (Tuhan Yang Maha Kuasa). Jadi, yang menyelamatkan manusia Bajawa adalah ’Dewa Zeta’ (Tuhan), bukan nenek moyang (Ebu Nuzi).
Load disqus comments

0 comments