Ritual Tawur Kesanga, Budaya asal bali

Zaman dahulu sehari sebelum nyepi, masyarakat Bali biasa melakukan kegiatan upacara Bhutayadnya dalam sekala besar yang sering di sebut dengan Tawur Kesanga. Ritual ini biasa di laksanakan oleh Raja dan rakyat untuk menyucikan dan memurnikan kerajaan untuk mencegah pengaruh buruk dari lingkungan sekitar.Para pemangku, pendeta, rsi bujangga, mengucapkan mantara untuk menyucikan atau malukat para bhuta.

Upacara Tawur kesangan pertama kali di laksanakan pertama kali tahun 1190 masehi atau pada abad ke 12 di pura Besakih. Raja Bali pada waktu itu (Jaya Pangus) dan tujuh 7 pendeta yang melaksanakan ritual ini, yadnya ini di mulai saat Sasih Keenem untuk memuja Panca Maha Butha. Kelima unsur panca butha adalah air, tanah, udara, angin, api. Pada unsur air di laksanakan di danau, sungai, air laut. Unsur tahan, metirta yadnya ke pura dasar buana Gel-gel. Unsur api pura luhur lempuyang, yang di puja adalah Hyang Agni Jaya. Setelah Pura-Pura tersebut di kunjungi, raja berikut 7 pendeta tersebut kembali ke pura Besakih untuk melakukan upacara tawur kesanga. Upacara ini terus menerus dilakukan sampai bali di kuasai oleh Majapahit pada abad ke-14.

Upacara Tawur Kesanga di Badung(BALI) pernah di gelar tahun 1934, tepatnya pada 17 maret 1934 yang di lakuikan di halaman Puri Agung Denpasar. Pada waktu itu raja badung Ida Cokorda Alit Ngurah, bersama tujuh pedanda siwa dan satu pedanda budha, beliau melaksanakan upacara ini sebelum matahari terbenam. Hewan yang di pakai untuk sarana kurban (mecaru) di letakan sesuai arah mata angin dan di batasi dengan daun kelapa yang di anyam (klangsah). Kambing hitam untuk arah utara, angsa putih untuk timur, anjing merah di letakan di selatan, anak sapi kuning di barat. Ketika upacara ini selesai api dan tirta pemberian pendeta di berikan ke pada masing-masing kelian banjar. Api ini juga di bagikan ke pada penduduk yang membawa obor atau prakpak untuk di arak keliling kota dan masing-masing rumah penduduk desa pakraman. Di sela-sela suara gemuruh kentongan, gamelan-serta bunyi-bunyi lainnya, penduduk serentak berteriak “ megedi…., megedi….!(keluar)” Sambil memukul pohon dan tanah dengan maksud menghalau pada butha(roh jahat) supaya pergi meninggalkan daerah pakraman. Pawai ini baru berhenti setelah larut malam.

Begitulah terjadinya ritual yang sudah ada sejak zaman dahulu ini, sehingga menjadikan alam semestqa bersih dari butha, serasi dan selaras dan seimbang, bebas dari mala pertaka dan kekacauan.

Itulah yang saya ketahui tentang budaya orang bali ini, DI kutip dari berbagai sumber.

Load disqus comments

4 comments